Pagi itu, di hari keenam bulan Ramadan. Suasan hati sudah tidak karuan, padahal hari masih pagi. Anak-anak begitu menguji kesabaran. Semua meminta ini, itu, Ingin diperhatikan, sementara rumah masih belum beres sisa hari kemarin. mainan berantakan, cucian piring masih menumpuk, lantai belum disapu dan pel, setrikaan yang menggunung, peer untuk toilet training dan sapih anak kedua, dan masih banyak lagi hal yang berlarian dalam pikiran di kepala.
Berkali-kali menarik napas, untuk mengingat bahwa ini lagi Ramadan. Harus bisa menahan diri ketika Ramadan. Diri ini mengulang-ngulang kalimat tersebut. Sabar… Ini ujian….
Sebenarnya, jauh di lubuk hati yang terdalam, saya ingin melalui Ramadan dengan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Bisa lebih fokus dalam beribadah. Hati tenang dan tentram saat menjalaninya, dan pikiran ideal lainnya. Hehe.. Siapa sih yang ‘gak mau melalui Ramadan dengan sempurna? Apalagi bisa mendapatkan keistimewaan di malam lailatul Qadr! Aah… pasti bahagianya bila mendapatkan anugerah tersebut. Karena kita tidak pernah tahu, bukan, sampai kapan kita dapat menikmati udara di bulan ramadan mulia ini.
Di pagi yang keenam itu, saya merasa ingin melampiaskan emosi saya. Kenapa sih, saya tidak bisa melalui Ramadan dengan suasana yang lebih kondusif? Kenapa ini sama seperti rutinitas yang juga sering terjadi di hari-hari lain? Pengen deh, Ramadan ini bebas rutinitas dulu.
Eits!
Seketika saya beristighfar. menyesali diri yang masih terbawa nafsu, masih suka berandai-andai. Saya lihat baik-baik diri saya dan sekitar. Hei, saya seorang ibu dari dua anak yang masih berumur lima dan dua tahun. Wajar sekali bila setiap hari ada saja tindakan anak yang mungkin tidak kita harapkan, satau insiden-insiden kecil di rumah yang membuat suasana menjadi ramai. Hehe.
Seorang ibu, tidak mungkin meninggalkan rutinitasnya ketika memasuki bulan Ramadan. Peran dan tanggung jawabnya harus tetap dilaksanakan. Pertanyaan besarnya dalah, bagaimana cara saya, untuk lebih bisa mengatur waktu , agar peran dan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan istri tetap berjalan dengann baik, tapi saya juga mampu menngoptimalkan amalan di bulan Ramadan ini.
Pastinya bukan hal mudah untuk melaksanakan semua itu dengan baik. Kalau mudah, berarti ‘gak ada perjuangannya, dong! Hehe… Padahal, sesuatu yang berharga itu harus diperjuangkan. Misalnya apa? Yap, gelar takwa yang kita ikhtiarkan dari shaum kita di bulan ini.
Seketika saya teringat tausiyah dari seorang ustadz. Beliau bilang, sesungguhnya, hakikat shaum di bulan Ramadan adalah menahan. Menahan dari apa? Menahan diri dari sesuatu hal yang levelnya paling bawah, yaitu lapar dan dahaga, lalu menahan diri dari yang level selanjutnya, yaitu dari hawa nafsu, amarah, dst. Menahan diri ketika Ramadan, berarti menjaga diri dari kelalaian, kesia-siaan, dan kemaksiatan. Betapa banyak orang yang shaum ramadan, namun meraka hanya merasakan lapar dan dahaga. Saat berbuka, mereka balas dendam dengan memakan semua makanan yang ada. Hingga tak cukup ruang untuk bersujud pada Allah di malam hari.
Astaghfirullaah…
Berarti, kalau saya masih merasa terganggu dengan hal “remeh” nan “receh” macam rutinitas bocah, ada yang harus diperbaiki dalam “mindset” saya dalam menjalani hari-hari di bulan Ramadan ini.
Harus banyak bersyukur. Itu hal yang ingin saya terapkan di bulan Ramadan ini. Salah satu misi menahan diri ketika Ramadan bagi saya adalah menahan lisan untuk mengucapkan keluhan-keluhan yang membuat saya jadi kurang bersyukur. Keluhan yang membuat saya menjadi fokus pada apa yang tidak saya miliki, dibandingkan dengan apa yang saya miliki.
Berat, yaa… Hehe… Ya, karena pahalanya juga besar. janji Allah ‘gak akan pernah salah. Yuk ah, kita upayakan merebut ridha Allah di bulan Ramadan ini! 🙂
~ Bersegeralah, karena waktu takkan menantimu ~
~Bergeraklah, karena diam berarti kematian ~