“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Ramadan sudah terlihat ujungnya. Kita sudah memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Ada yang disibukkan dengan i’tikaf di masjid-masjid tertentu, ada yang juga harus mempersiapkan acara mudik, ada juga yang masih berkutat dengan rutinitas kantor atau rumah, dan lain sebagainya. Tentu saja semua berharap agar bisa menjadi salah seorang hamba yang beruntung mendapatkan keutamaan malam Lailatul Qadr. Apapun kondisinya.
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)
Salah satu hal yang paling terasa di bulan Ramadan adalah semangat untuk silaturahmi yang begitu besar. Terlihat dari ajakan buka bersama alias bukber yang begitu besar (semoga bukan sekedar wacana tiada akhir ya, hehe..), janji untuk bertemu saat i’tikaf, hingga silaturahmi saat hari raya tiba, baik yang mudik ataupun tidak.
Bagi teman-teman yang memiliki kampung halaman dengan jarak yang jauh dari tempat tinggalnya, pulang ke kampung untuk silaturahmi pun bisa dihitung dengan jari dalam setahun. Bahkan ada yang beberapa kali lebaran belum bisa pulang. Bukan seperti Bang Toyyib, tapi memang secara ekonomi tidak memungkinkan. Bagi mereka, momen lebaran dan bisa pulang ke kampung halaman, tentu menjadi momen yang sangat istimewa dan dinantikan. Mereka akan pulang membawa oleh-oleh terbaik yang mereka usahakan.
Silaturahmi ternyata sangat dianjurkan dalam Islam. Betapa banyak keterangan tentang pentingnya silaturahmi. Dan tentu saja, teladan dari Rasulullah SAW dalam menjaga hubungan dengan kerabat dan para sahabat beliau.
“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)”. [Mutafaqun ‘alaihi].
Kerasa gak sih, akhir-akhir ini, kita terjabak dalam situasi yang begitu mudah untuk memutuskan hubungan pertemanan, atau silaturahmi dengan orang lain, karena alasan perbedaan pendapat?
Bagi saya, setiap orang berhak dengan pendapatnya masing-masing. Namun, sebagai muslim, saya pasti memiliki prinsip yang tetap harus saya pegang. Prinsip tersebut tentunya tidak dapat dipaksakan untuk sama dengan orang lain, dan saya pun tidak akan memaksa orang lain untuk mengikuti prinsip yang saya pegang.
Yang saya sedihkan adalah, betapa saat ini, lisan kita begitu mudah mengucapkan kata-kata kasar, bagi orang yang dianggap bersebrangan dengan kita. Padahal mungkin dulu, mereka adalah teman baik. Betapa mudahnya memutuskan silaturahmi hanya karena ngotot di media sosial. Ah, media sosial kadang membuat polarisasi perbedaan menjadi semakin tajam.
Pantaslah kalau ganjaran menyambung silaturahmi itu begitu besar. Karena saat kita menyambung sesuatu yang sudah diputus, hal itu butuh energi besar dan menghilangkan ego pribadi. Menghilangkan perasaan bahwa saya yang paling benar, dan dia yang salah.
Kebayang dong, udah ngotot-ngotot, lalu harus meminta maaf, meski mungkin bukan salahnya sepenuhnya? Dan justru Islam sangat mengapresiasi inisiatif untuk memperbaiki silaturahmi ini. Tak peduli siapa yang salah, namun ia berinisiatif menyambung silaturahmi.
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan.” [Muttafaq ‘alaihi]
Meskipun untuk bersilaturahmi atau meminta maaf tak harus menunggu waktu lebaran, tapi, gak ada salahnya kan memanfaatkan momen berkumpul di hari raya untuk menyambung silaturahmi. 🙂
~ Bersegeralah, karena waktu takkan menantimu ~
~ Bergeraklah, karena diam berarti kematian ~