Pernah berpikir tentang berapa usia bumi ini dan sudah sebanyak apa beban yang dipikul bumi tercinta selama ini? Setiap harinya, manusia bertambah dengan kelahiran, dan berkurang dengan kematian. Bumi kita dinamis. Setiap waktu, ia mengalami perubahan.
Jumlah manusia yang semakin bertambah dari hari ke hari, membuat bumi menanggung beban yang lebih besar. Manusia akan melakukan hal-hal untuk mendukung hidupnya, seperti makan, minum, mendapatkan tempat tinggal, bepergian, dan sebagainya. Beragam aktivitas manusia ini, mau tidak mau, suka tidak suka, akan mempengaruhi lingkungannya.
Peristiwa Longsor TPA
Masih jelas sekali dalam ingatan saya, ketika dulu, tahun 2005, terjadi ledakan yang disertai longsor di area TPA Leuwigajah, Cimahi. Ada 157 korban meninggal dan pemukiman yang luluh lantak akibat tertimbun longsoran sampah. Akibat peristiwa tersebbut, praktis Bandung tidak memiliki TPA. Sampah-sampah tertahan di TPS, tidak tahu hendak dibawa kemana. Dalam sekejap, sampah yang ada di TPS sudah tidak tertampung lagi. Bandung yang dulu terkenal dengan “Bandung Lautan Api”, saat itu berubah menjadi “Bandung Lautan Sampah”. Saya yang ketika itu masih rutin melalui jalan Tamansari, selalu menutup hidung ketika melewati TPS yang ada di jalan tersebut. Sampah-sampah yang sudah tidak tertampung, semakin memenuhi area jalan, dan bayangkan saat hujan derasa mengguyur, bau sampah akan lebih menyengat, dan sampah yang terbawa air hujan akan mengotori tempat yang lain.
Selain TPA Leuwigajah, TPA lain pun pernah mengalami longsor. Sebut saja TPA Supit Urang di Malang, yang longsor pada tanggal 11 Juli 2018. Akibatnya, seorang pemulung sampah tewas tertimbun gunungan sampah.
Semoga peristiwa-peristiwa tersebut, dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih bijak dalam mengelola lingkungan, khususnya sampah, yang tentu saja sudah menjadi bagian dari tanggung jawab kita sebagai penghasil sampah setiap harinya.
Kangpisman dan Peran Pemerintah
Kini, Bandung telah memiliki program berupa Kang Pisman, yang merupakan singkatan dari Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan sampah. Program ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran masyarakat Bandung mengenai sampah, terutama sampah yang berasal dari limbah rumah tangga, yang merupakan komponen terbesar penyumbang sampah yang masuk ke TPS dan akhirnya ke TPA.
Dari sisi pemerintah, sudah melaksanakan beberapa program yang dapat mendukung gerakan untuk meminimalkan sampah yang dihasilkan di masyarakat. Lalu, bagaimana dengan peran kita sebagai masyarakat?
Peran Keluarga, Sebagai Bagian dari Masyarakat
Selain turut serta dalam program yang diinisiasi oleh pemerintah, kita sebagai masyarakat pun dapat melakukan langkah-langkah untuk mengurangi sampah yang kita hasilkan. Langkah terpenting adalah melakukan perubahan gaya hidup untuk meminimalisasi sampah di lingkungan terdekat kita, atau lebih dikenal dengan Gaya Hidup Minim Sampah.
Sebagai ibu dari tiga orang anak yang masih kecil, seringkali saya merasa kesulitan untuk melaksanakan gaya hidup minim sampah. Sebut saja, pemakaian pospak untuk bayi, tissue basah, dan baju bayi yang terpakai hanya sebentar, dan masih banyak lagi.
Namun, keresahan akan sampah yang kian hari kian bertambah banyak, dan kesadaran bahwa ruang lingkup rumah tangga memiliki andil yang besar dalam menyumbang total jumlah sampah di masyarakat, saya pun ingin melakukan perubahan dalam pola hidup.
Dulu kita mengenal prinsip 3R, Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (mendaur ulang). Ternyata saat ini tidak cukup dengan prinsip 3R, sehingga kini kita mengenal dengan 5R, yaitu Refuse (menolak), Reduce (mengurangi), Reuse (menggunsksn kembali), Recycle (mendaur ulang), Rot (membusukkan). Minim sampah tidak hanya megenai daur ulang, namun dimuai dari refuse, kemudian reduce dan reuse.
Ada juga yang kita kenal dengan prinsip 3-AH, yaitu Cegah, Pilah, dan Olah. Di keluarga kecil kami, yang sering saya terapkan adalah prinsip 3-AH ini. Memulai untuk mencegah sampah, masuk ke dalam lingkungan rumah tangga. Terutama sampah makanan. Mengapa? Sampah makanan cukup mendominasi sampah yang berasal dari rumah tangga.
Ketika saya masih kecil, ibu saya sering mengatakan, “Habiskan nasinya, nanti nasinya nangis, kalau tidak dihabiskan”, untuk memotivasi saya dan adik menghabiskan makanan yang ada di piring kami. Mungkin teman-teman disini ada yang mengalaminya juga ketika kecil. Rasanya kata-kata itu cukup lazim didengar oleh saya dan teman-teman pada angkatan yang sama.
Kini, setelah saya menjadi ibu dari 3 anak, saya juga mengedukasi anak-anak untuk menghabiskan makanan yang ada di piring mereka. Dengan prinsip 3-AH tadi, saya fokus untuk komponen pertama, mencegah potensi sampah yang akan muncul. Bagaimana membiasakan gaya hidup minim sampah makanan di rumah ala keluarga kami?
Membuat Daftar Bahan yang Akan Dibeli Ketika Berbelanja
Saat berbelanja bahan makanan, biasanya saya sudah memiliki daftar bahan yang akan dibeli. Daftar ini mencegah kita untuk membeli bahan lain di luar kebutuhan. Kita fokus untuk membeli bahan yang sesuai dengan perencanaan yang sudah kita buat. Akan memasak sebanyak apa, jenis makanan yang dimasak, untuk untuk berapa hari, itu semua harus direncanakan sebelum kita berbelanja. Terkadang saat berbelanja, ada keinginan untuk membeli bahan yang kita temui, meskipun belum tahu akan digunakan untuk membuat apa. Hal ini berpotensi menimbulkan penumpukan bahan makanan yang jika tidak sanggup kita habiskan, maka akan menjadi sampah.
Melakukan Penyimpanan dan Persiapan Memasak dengan Baik (food preparation)
Di rumah, saya menerapkan food preparation. Setiap akhir pekan, saya sudah merencanakan menu yang akan dibuat pada pekan selanjutnya. kemudian, saya membeli bahan makanan sesuai dennan menu, dan jumlah yang cukup untuk satu keluarga. Bahan makanan yang sudah dibeli, saya bersihkan dan simpan sesuai jenis, menu, dan porsi yang akan digunakan dalam sekali masak. Penyimpanan seperti ini akan membuat umur bahan makanan lebih tahan lama, dan meminimalisasi bahan makanan yang terbuang, karena kita memasak sesuai kebutuhan.
Anak-anak juga dilibatkan dalam menentukan menu yang akan disajikan pekan depan, mereka sibuk membantu memilih menu makanan, membuat daftar belanjaan saat pergi ke supermarket atau membeli online, dan membantu memasukkan ke dalam kotak-kotak penyimpanan. Saat waktunya memasak, anak-anak antusias membantu menyiapkan bahan dan memasak.
Mengedukasi Anak untuk Selalu Menghabiskan Makanan yang Ada di Piring
Bagi anak-anak, menghabiskan makanan bukanlah perkara yang mudah dan bisa dilaksanakan secara konsisten setiap makan. Sudah kenyang, atau tiba-tiba ingin makanan yang lain, adalah beberapa alasan yang sering dikemukakan. Cara menyiasatinya, dengan memberikan porsi makanan untuk anak dalam jumlah kecil, atau porsi pas untuk sekali makan. Jika anak masih ingin makan, mereka bisa mengambil makanan mereka kembali, namun diingatkan untuk selalu dihabiskan.
Karena anak-anak dilibatkan dalam menentukan menu, maka ketika mereka membantu memasak dan memakan makanan sesuai dengan menu yang sudah mereka pilih, maka mereka akan antusias untuk menghabiskan makanan di piring.
Selain itu, anak-anak juga dimotivasi dengan bahan bacaan tentang adab-adab dalam makan, seperti menghabiskan makanan mereka.
Memanfaatkan Sisa Makanan dan Mendaur Ulang Hidangan yang Tak Habis
Adakalanya makanan yang kita masak tak habis dalam waktu tertentu. Jika kita membuangnya, akan semakin banyak food waste yang kita sumbang pada masyarakat. Jika makanan masih baik, maka mendaur ulang hidangan yang ada, bisa mengurangi sampah makanan yang kita hasilkan. Seperti saat lebaran kemarin, ayam opor yang masih cukup banyak, namun sudah sepi peminat, didaur ulang menjadi ayam balado. Alhamdulillah jadi memberi nilai lebih pada makanan yang sudah kurang diminati. Atau yang paling sering, mengolah nasi kemarin menjadi nasi goreng atau pempek nasi dan cireng nasi.
Membiasakan Anak untuk Berbagi Makanan dengan Orang yang Membutuhkan
Hidup bukan hanya urusan diri dan keluarga kita saja, begitu pun dengan food waste, bukan hanya urusan pribadi atau keluarga masing-masing saja. Ia membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan juga lembaga-lembaga yang concern dalam hal edukasi masyarakat mengenai gaya hidup minim sampah, seperti Bandung Food Smart City.
Dalam waktu-waktu tertentu, biasanya kami mengajak anak-anak untuk berbagi makanan pada orang yang membutuhkan di sekitar kita. Sebelumnya, anak-anak menabung untuk dijadikan sedekah makanan atau jadwal berbagi makanan. Jika uang sudah terkumpul, maka kami membuat makanan untuk dibagi-bagikan kepada orang di sekitar, dengan pengemasan yang diusahakan meminimalisir sampah setelahnya. Kegiatan ini sekaligus untuk mengingatkan anak-anak dan kami sebagai orang tua, betapa berharganya makanan yang sampai pada kita. Tidak semua orang bisa makan sesuai keinginan, bahkan ada yang tak bisa makan setiap hari. Anak-anak pun dimotivasi untuk lebih menghargai makanan, bersyukur pada Allah, dan menghargai usaha orang-orang yang ada dibalik hadirnya makanan ke meja makan.
Proses yang Panjang
Tentu saja untuk menerapkan gaya hidup minim sampah makanan bukanlah hal yang instan, namun sebuah proses yang panjang dan perlu sinergi dari semua pihak. Edukasi pada anak bisa dimulai sejak dini, agar kelak mereka menjadi manusia yang lebih peduli pada masalah sampah, dan menjadi bagian dari solusi atas permasalahan ini. Setiap perubahan besar, pasti berawal dari langkah-langkah kecil, bukan?
Bersegeralah, karena waktu takkan menantimu
Bergeraklah, karena diam berarti kematian
Rini Inggriani